Suranan merupakan tradisi budaya Jawa yang berlangsung setiap awal bulan Suro dalam penanggalan Jawa atau 1 Muharram dalam kalender Hijriah. Tradisi ini tumbuh kuat di berbagai wilayah seperti Tegal, Brebes, Pekalongan Yogyakarta, Solo, Magelang, hingga Banyumas serta Purwokerto dan Banjarnegara. Masyarakat menggelar berbagai ritual sebagai bentuk penghormatan terhadap leluhur, penyucian diri, serta awal spiritualitas yang baru.
Tujuan Tradisi Suranan
Tujuan utama dari Suranan adalah nguri-uri budaya, atau melestarikan warisan leluhur. Tradisi ini juga menjadi sarana untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, membersihkan batin, serta memperkuat ikatan sosial masyarakat. Tak hanya itu, Suranan menjadi ruang kontemplasi masyarakat Jawa atas kehidupan yang sudah mereka jalani dan yang akan datang. Melalui Suranan, masyarakat mengingat pentingnya harmoni dengan alam, dengan sesama, dan dengan Sang Pencipta. Inilah yang membuat Suranan bukan sekadar tradisi, melainkan perwujudan nilai-nilai kehidupan yang menyatu dengan spiritualitas dan kebudayaan.
Seni Pertunjukan dalam Tradisi Suranan
Kesenian Wayang dan Macapat sebagai Wahana Refleksi.
Seni menjadi bagian penting dari perayaan Suranan. Di berbagai tempat, pertunjukan wayang kulit menjadi agenda wajib yang mereka selenggarakan semalam suntuk. Lakon wayang yang dalang bawakan biasanya sarat pesan moral dan spiritual seperti “Semar Mbangun Kahyangan” atau “Pandu Swarga”, yang menggambarkan transformasi jiwa dan perjalanan batin manusia. Selain wayang, masyarakat juga menyuguhkan tembang macapat, seperti Pangkur, Dhandhanggula, atau Sinom. Tembang-tembang tersebut menjadi media untuk menyampaikan doa, nasihat, dan harapan akan kehidupan yang lebih baik. Secara musikal dan filosofis, macapat sangat kuat dalam menanamkan nilai-nilai luhur ke dalam benak masyarakat.Sebagai pelengkap, beberapa daerah menyuguhkan tarian sakral seperti Bedhaya atau Topeng Ireng. Kesenian ini menjadi penegas bahwa Suranan tidak hanya ritual batin, tetapi juga ekspresi estetika yang penuh makna dan keindahan.
Untuk memahami lebih lanjut tentang seni Jawa lainnya, Anda bisa membaca artikel kami sebelumnya: Seblang Tradisi Mistis yang Unik dan Penuh Makna di Banyuwangi
Sekaten Yogyakarta Tradisi Budaya Penuh Makna di Tanah Jawa
Ritual Kirab dan Pakaian Adat
Kirab budaya menjadi bagian tak terpisahkan dalam Suranan. Di Solo misalnya, Keraton Surakarta menggelar kirab malam satu Suro dengan membawa pusaka keraton dan prajurit berseragam tradisional turut serta mengawalnya. Ribuan masyarakat mengikuti iring-iringan tersebut dengan khidmat, berjalan tanpa suara dari keraton menuju makam raja-raja Mataram.Uniknya, para peserta mengenakan pakaian adat Jawa lengkap seperti beskap, jarik, blangkon, dan kebaya. Atribut ini bukan sekadar busana, melainkan simbol keanggunan dan penghormatan terhadap nilai-nilai adat yang kita junjung tinggi.Sudut pandang seni dalam kirab ini terlihat jelas dari koreografi pergerakan barisan, formasi prajurit, hingga iringan gamelan yang mengiringi langkah kaki mereka. Semua terwujud dalam keharmonisan visual dan musikal yang memukau, sekaligus menggugah kesadaran kolektif akan jati diri budaya Jawa.
Di Tegal dan Brebes Mengadakan prosesi Tahlilan Massal dan Pertunjukan Wayang . Di Brebes sendiri tepatnya di desa Banjaranyar Brebes telah kami adakan prosesi tersebut pada hari Jumat 4 Juli 2025.
Pertunjukan wayang kali ini di perankan oleh beberapa sinden dan Dalang bernama Ki Carito ,keponakan dari Ki Entus. Pertunjukan tersebut juga kami siarkan secara live di YouTube dengan nama Chanel Arjuna Laras Official https://www.youtube.com/live/G_uUptrNo3k?si=J0FNs9eu1ATEbnvA
Lakon yang ki Carito bawakan dan masyarakat sukai adalah si Lupit.
Suranan Sebagai Daya Tarik Budaya dan Wisata
Daya Tarik Wisata Spiritual dan Tradisional Tradisi Suranan menjadi magnet bagi wisatawan lokal dan mancanegara. Banyak orang datang untuk merasakan nuansa spiritual yang kental, sekaligus menyaksikan budaya Jawa yang autentik.
Wisatawan bisa mengikuti prosesi doa, melihat pertunjukan seni, hingga merasakan kuliner khas seperti nasi tumpeng, jenang, dan apem yang biasa disuguhkan selama Suranan.
Di Magelang, misalnya, tradisi Suranan digelar di sekitar alun-alun kota dengan pementasan tari kolosal dan ritual doa bersama di candi. Sementara di Yogyakarta, kawasan Imogiri ramai dikunjungi peziarah yang mengikuti prosesi “ziarah agung” ke makam raja Mataram Islam.Fenomena ini membuka peluang besar dalam pengembangan wisata budaya berbasis komunitas. Desa-desa wisata mulai mengemas Suranan sebagai paket atraksi budaya tahunan yang memikat, sembari tetap menjaga kesakralan ritual utamanya.
Tertarik berkunjung saat Suranan? Hubungi kami di Contact
untuk informasi acara dan lokasi terbaik hubungi Support@dwiratnasusanti.com
Untuk Informasi Booking Hiburan Wayang hubungi Mas Nur dari Desa BanjarAnyar
Pelestarian Budaya Melalui Kegiatan Edukatif
Pelibatan generasi muda dalam Suranan menjadi fokus utama dalam pelestarian budaya. Banyak komunitas budaya yang kini mengajak siswa dan mahasiswa untuk ikut serta dalam pementasan, dokumentasi, serta diskusi tentang makna Suranan. Selain itu, pemerintah daerah mulai mengintegrasikan tradisi ini ke dalam kurikulum muatan lokal di sekolah-sekolah. Strategi ini tidak hanya menjaga eksistensi budaya, tetapi juga mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam menghidupkan nilai-nilai tradisi leluhur. Festival Suranan juga menjadi ruang edukatif bagi wisatawan dan peneliti untuk menggali filosofi Jawa lebih dalam. Hal ini menjadikan Suranan sebagai contoh ideal sinergi antara pelestarian budaya, pendidikan, dan pariwisata.
Ingin mempelajari lebih dalam tentang budaya Jawa? Baca artikel Grebeg Suro Ponorogo : Kemegahan Budaya Indonesia
Prosesi Sakral dalam Suranan
Tirakatan dan Doa Bersama (Tahlilan) dalam Suranan dimulai dengan tirakatan dan doa bersama. Biasanya, warga berkumpul di langgar atau pendopo desa sambil membawa makanan tumpengan sebagai simbol rasa syukur. Doa dipimpin oleh tokoh agama atau sesepuh desa dengan lantunan doa berbahasa Jawa kuno dan Arab.Tirakatan juga menjadi momen refleksi, ketika masyarakat merenungkan perjalanan hidup dan meminta perlindungan di tahun yang baru. Nilai spiritual inilah yang menjadi ruh dari seluruh rangkaian Suranan, menjadikannya bukan hanya ritual, tetapi perwujudan pengharapan dan ketenangan batin. Tak jarang, orang melakukan ritual tapa bisu, yakni berjalan kaki tanpa bicara sepanjang malam. Prosesi ini menggambarkan laku prihatin dan keheningan batin dalam upaya mendekat kepada Sang Pencipta.
Tatanan dan Irama Doa yang Sarat Nilai Estetika
Tradisi tahlilan dalam Suranan memiliki sisi seni yang khas. Meski tidak tampak seperti pertunjukan, namun ritme lantunan doa, kekompakan suara, dan susunan acara yang tertib menciptakan estetika tersendiri. Barisan warga duduk bersila menghadap pusara leluhur, dengan penerangan lampu temaram dan obor bambu, membentuk visual yang sederhana tapi menyentuh batin.
Bacaan seperti Yasin, Tahlil, dan Doa Arwah dilafalkan serempak, menghasilkan keharmonisan suara yang tidak kalah indah dibanding tembang atau gamelan. Dalam perspektif budaya Jawa, harmoni dan keteraturan dalam doa ini mencerminkan keseimbangan kosmis dan spiritual yang dijunjung tinggi oleh masyarakat.Tak jarang, sebelum dimulai, tokoh adat atau sesepuh memberikan petuah atau wejangan yang sarat nilai moral.
Ini menjadi semacam narasi lisan yang diwariskan dari generasi ke generasi. Bentuk seni tutur yang tetap hidup di tengah modernitas.
Sesaji dan Simbolisme Religius
Sesaji atau persembahan dalam Suranan sangat beragam. Ada jenang abang-putih (bubur merah-putih) yang melambangkan keseimbangan antara unsur duniawi dan spiritual.
Ada pula apem dan rengginang yang menandakan permohonan ampunan serta pengharapan akan rezeki yang melimpah.
Simbolisme ini menunjukkan betapa kuatnya pengaruh filosofi Jawa dalam setiap aspek kehidupan. Setiap sesaji tidak hanya memiliki fungsi ritual, tetapi juga menyimpan makna mendalam tentang relasi manusia dengan Tuhan, alam, dan sesama.
Ritual membuang sesaji ke sungai atau laut, dikenal sebagai larung sesaji, juga dilakukan di beberapa daerah. Prosesi ini menjadi tontonan menarik sekaligus ajang kontemplatif yang menghubungkan manusia dengan kekuatan semesta.
Pelibatan Generasi Muda dan Upaya Pelestarian
Pelestarian tradisi Suranan di Banjar Anyar sangat tergantung pada keterlibatan generasi muda. Banyak remaja dan anak-anak mulai aktif dalam persiapan acara, dari menyiapkan penerangan, menyusun makanan tumpeng, hingga membantu distribusi bunga. Hal ini menjadi langkah penting dalam menjaga keberlanjutan budaya di tengah arus modernisasi.
Para guru dan tokoh masyarakat mendorong anak-anak untuk tidak hanya ikut, tetapi juga memahami makna Suranan secara mendalam.Selain itu, beberapa pemuda desa mulai membuat dokumentasi video dan konten edukatif di media sosial sebagai upaya memperkenalkan Suranan ke khalayak yang lebih luas. Inilah bentuk pelestarian budaya yang adaptif, memanfaatkan teknologi namun tetap menjaga nilai-nilai leluhur.
Artikel lain kami yang relevan:
- Kirab Pusaka Solo: Tradisi Sakral yang Sarat Makna
- Tradisi Meugang di aceh
- Misteri Ritual Tabuik di Pariaman, Sumatra barat
- Sekaten Yogyakarta Tradisi Budaya Penuh Makna di Tanah Jawa
- Mengenal Grebeg Maulud: Tradisi Sakral di Yogyakarta
- Dugderan Semarang: Tradisi Meriah Sambut Ramadhan
- Tradisi Tari Seblang Banyuwangi
- Tradisi Kasada Di Bromo
Ingin menjelajahi lebih banyak tradisi budaya Indonesia?
Kunjungi Blog kami dan temukan kisah menarik dari Sabang sampai Merauke. Jangan lupa subscribe untuk mendapatkan artikel terbaru setiap minggunya!